Senin, 31 Agustus 2009
cerpen cinta, cinta lokasi
Sudah seminggu ini, setiap pagi cowok dan cewek itu duduk di bangku taman. Meski tak saling berpegangan tangan, mereka tampak akrab dan saling mencintai. Sebenarnya, sebagai penggemar olahraga pagi, sudah cukup lama mereka saling mengenal. Tapi baru seminggu ini mereka berpacaran. Mungkin, ini juga bisa disebut sebagai ‘cinta lokasi’. Benih-benih cinta muncul dan berkembang di lokasi di mana mereka hampir setiap hari berolahraga. Rupanya, dari seringnya mereka bertemu, bertegur sapa, dan berbicara, maka tumbuhlah rasa cinta di antara dua manusia itu. Maka di suatu pagi yang cerah, setelah selesai berolahraga pagi, Dicky –demikian nama cowok itu– mendekat dan langsung ‘menembak’; menyatakan cintanya pada Joan, si cewek. Meski dengan berpura-pura malu, Joan menerima cinta Dicky. Maka resmilah sejak pagi itu mereka ‘jadian’.
Pagi itu, dua sejoli itu duduk di bangku taman. Berdua mereka sedang merancang acara ulang tahun Dicky yang sekaligus akan dimanfaatkan sebagai pengumuman bahwa mereka benar-benar jadian. Mereka berencana akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah Dicky, dengan mengundang teman-teman sesama penggemar olahraga pagi di taman itu. Bagaimanapun, berakhirnya masa jomblo ini harus dirayakan. Sudah berbilang tahun Dicky dan Joan menjadi jomblo dengan kisah sedihnya masing-masing.
Setelah ditetapkan waktu dan berapa orang yang akan diundang, mereka berdua bangkit dan berjalan menuju mal tak terlalu jauh dari situ. Mereka hendak membeli perlengkapan pesta seperti piring karton, sendok garpu plastik, sedotan, balon udara, topi kerucut, kertas warna-warni, kue tart, dan juga lilin-lilin kecil sebanyak 79 batang.
Saat membayar di kasir, Dicky berbisik mesra di telinga Joan, “Pasti kasir itu menyangka, barang-barang yang kita beli itu untuk cucu-cucu kita.”
Joan tersenyum dan mencubit lengan Dicky. Sepasang kakek-nenek itu tampak mesra sekali.
Selasa, 25 Agustus 2009
cerpen
Sepasang suami istri (seperti pasangan lain di kota2 besar meninggalkan anak2 diasuh pembantu rumah tangga sewaktu bekerja).
Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sendirian di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya...karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini!!!..."
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga terkejut. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, "Saya tidak tahu..tuan." "Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?" hardik si istri.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yang membuat gambar itu ayahhh..cantik kan..!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.
Si ayah yang sudah kehilangan kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya pada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab si pembantu ringkas. Kasih minum Panadol saja," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur, ia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik..Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan..." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut... "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi...
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah..ibu..Dita tidak akan melakukannya lagi... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi...Dita sayang ayah...sayang ibu.", katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayah...kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil? Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?.. Bagaimana caranya Dita mau bermain nanti?.. Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi." katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata2 anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun apa yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski ia sudah meminta maaf.
Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran batin sampai suatu saat sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan ia wafat diiringi tangis penyesalan yang tak bertepi.
Namun...si anak dengan segala keterbatasannya dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya...
"Sering dalam hidup kita bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu...dan tanpa kita sadari tindakan itu dapat membawa penyesalan seumur hidup kita...
So...berpikirlah dahulu sebelum bertindak!!!"
Sabtu, 22 Agustus 2009
cerpen cinta,ternyata bukan kenyataan
Oleh: Ambar Widowati
Aku dan Arin adalah sepasang sahabat. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sangat kagum pada sosok Arin. Dia bukan cuma persahabatan yang baik, tapi juga pintar. Dia selalu membantu jika aku kesusahan mengatasi soal-soal pelajaran.
Suatu hari, Arin terlihat sangat pucat. Dia menggigil kedinginan. Aku sudah berusaha menanyainya, tapi tetap saja Arin tidak mau mengaku.
"Aku nggak pa-pa kok, Din. Percaya deh! Mungkin cuma masuk angin!" kata Arin meyakinkanku.
"Mending kamu ke UKS saja deh!! Muka kamu tuh pucat banget. Kalo ternyata bukan masuk angin gimana? Ntar malah bikin repot orang tua kamu!"
Akhirnya Arin menuruti nasihatku. Di UKS, Arin menolak diberi obat. Katanya, dia alergi sama obat yang nggak pernah dikonsumsi. Alhasil, Arin hanya diberi minyak kayu putih dan petugas UKS menyuruhnya tiduran. Aku segera menelepon Pak Badri, sopir Arin. Beberapa menit kemudian, Pak Badri datang.
"Makasih ya, Non, sudah jagain Non Arin," kata Pak Badri ramah. "Iya, sama-sama, Pak. Tolong langsung anterin Arin ke rumah ya! Trus, langsung suruh dia minum obat. Oia, jangan lupa suruh dia makan dulu!" "Aduh, Non Dina nih benar-benar perhatian ya sama Non Arin. Nyonya saja kalah lho, Non!"
"Ah, Pak Badri bisa saja! Ini kan sudah kewajiban Dina sebagai teman Arin. Ya sudahlah, Pak, ati-ati ya di jalan!"
"Mari, Non!" Bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera mencari tebengan pulang. Maklum, biasanya kan aku bareng Arin karena rumah kami searah. Untunglah ada Edo yang baik hati mengantarkan aku pulang sampai rumah. Tapi dengan syarat, aku mengganti uang bensin. Dasar perhitungan! Dalam hati aku bersorak riang karena apa yang menjadi impianku terkabul. Aku pulang bareng Edo, gebetanku.
"Arin tadi kenapa, Din?" aku langsung terbangun dari lamunanku. Nggak tahu tuh! Tadi sih katanya cuma masuk angin, tapi kok sampai pucat gitu !
"Oh, kirain dia kenapa gitu…"
"Kenapa apanya?"
"Ha?! Oh…nggak….nggak kenapa-kenapa…. Eh, Din sudah nyampe nih!!"
"Tenkyu ya, Do! Uang bensinnya besok saja di sekolah! Aku lagi nggak bawa duit nih!"
"Beres! Ya sudah, aku pulang dulu ya, Din!"
"Ati-ati ya, Do! Daaahhh!!!"
Siang ini terasa panas sekali. Aku merebahkan diri di kasur tercintaku. Lumayan kalo bisa tidur. Soalnya, nanti sore aku ada les. Tak lama kemudian ponselku berdering. "Sialan!! Siapa sih siang-siang gini nelepon? Duh, mataku tinggal 5 watt lagi!" umpatku dalam hati.
"Halo Din…. Lagi ngapain nih? Ntar les kan? Aku jemput ya?" suara Edo terdengar begitu nyaring. "Oh kamu, Do! Ganggu orang tidur saja! Iya, aku les. Kenapa? Mau nebengin aku lagi?" ujarku setengah sadar.
"Tahu saja! Sekalian ambil duit bensin gitu lho! He he."
"Dasar perhitungan!! Kamu jemput aku jam berapa?" kataku sambil menahan rasa ge-er ditambah ngantuk.
"Gimana kalo jam 3-an?"
"Ya terserah kamu deh!!"
"Ya sudah! Wait for me ya, Din! Met tidur…" suara Edo terdengar sangat manja. Rasa kantuk yang sedari tadi melandaku langsung hilang begitu saja. Aku masih terngiang-ngiang suara Edo. Ahhh….indahnya dunia! He he he… Aku pun segera pergi mandi meskipun tahu sekarang masih pukul 13.45. Tapi, nggak pa-pa, demi Edo….
Seusai mandi aku mengecek ponselku, "1 message received." Aku membukanya. Ternyata dari Arin. "Din, aq ijinin g’ msuk les y! Aq mau ke dokter. Tenkyu, Din." Singkat, padat, dan jelas.
"He-eh, ntar aq ijinin. Tp ntar jgn lupa kasih kbr ya! Oia, aq td pulang nebeng Edo lho! Whuuaa, senangnya! Ntr aq les jg dijemput ma dia! Wish me luck ya, Rin! Hehe… =)" Setelah membalas SMS Arin, aku segera berganti pakaian. "Arin sakit apa ya?" batinku.
"Dinaaa!" suara Edo terdengar sangat nyaring dari luar.
"Iya bentar. Aku masih ganti baju!" "Waahh, ikut dong!!! He he…."
"Kurang ajar!!" Sepuluh menit kemudian aku selesai berganti pakaian. Aku segera menghampiri Edo di teras. "Udah siap? Kita berangkat sekarang?"
"Nggak… besok saja! Ya iyalah sekarang! Aneh…."
"Tapi ganteng kan?? He he he!" Aku berusaha menyimpan raut muka yang aku tahu pasti sekarang sudah merah kayak tomat.
"Sudah ahh!! Nggak penting banget!" jawabku sebisa mungkin terlihat biasa.
"Nih helmnya! Pegangan ya!"
"Iih! Maunya!"
Di jalan aku menceritakan SMS Arin tadi siang.
"Euumm, gimana kalo ntar pulang les kita mampir ke rumah Arin dulu?"
"Ayo! Tapi gak pakai nambah duit bensin ya!"
"Beres!"
Sesampai di tempat les, aku menonaktifkan ponsel. Maklum, peraturan di tempat lesku ini sangat ketat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mending aku matiin dulu ponselku.
Dua jam berlalu….
"Teeeettt!!!" bel akhir pelajaran berbunyi. Aku bergegas membereskan bukuku dan langsung menghampiri Edo di kelas IPS.
"Rez, Edo mana?" tanyaku pada Reza alias Echa, salah seorang teman sekelas
"Edo? Tuh, lagi merenung. Kayaknya dia habis dapat berita spektakuler gitu!" jawab Reza dengan gaya khasnya, melambai alias kayak banci.
"Hush! Ngaco! Emang berita apa?"
"Yeee…. Mana eike tahu!! Bukan urusan eike! Dia kan bukan cowok eh cewek eike! Salah sendiri kenapa selama ini Aa’ Edo mesti ngacangin Echa! Echa kan jadi sebel!" jawab Reza sekenanya. Dasar banci….batinku.
"Do, kamu kenapa? Ada masalah? Kok kayaknya bad mood gitu?" Edo diam.
"Do, kamu kenapa sih? Aneh banget! Perasaan tadi kamu ceria banget deh, trus tiba-tiba jadi diem kayak gini. Emang kenapa sih, Do? Cerita dong! Sapa tau aku bisa bantu kamu!" ujarku.
"Mending, kamu baca saja sendiri," kata Edo sambil menyerahkan ponselnya kepadaku. "Hah?! Nggak mungkin!! Ini pasti bohong!!! Aku tau kalian berdua pasti ngerjain aku! Ini nggak mungkin kan, Do?!!" aku lepas kontrol. Tak terasa air mata mulai mengalir dari mataku.
"Sumpah, Din!! Aku nggak bo’ong! Tadinya sih aku mengira itu cuma lelucon Pak Badri! Kamu tahu sendiri kan kalo Pak Badri doyan banget ngerjain orang? Tapi rasanya nggak mungkin kalo dia bikin lelucon sampai kelewatan kayak gini! Apalagi sampai ngorbanin majikannya sendiri!"
"Tapi nggak mungkin, Do!!! Nggak mungkin," aku semakin tersedu-sedu.
Edo berusaha menenangkanku. "Kalo kamu masih nggak percaya, mending kita sekarang pergi ke rumah Arin. Dari situ kita bakal tahu berita ini benar atau nggak!"
Di jalan aku benar-benar tidak tenang. Apa mungkin perasaanku benar? Bahwa aku akan kehilangan, ahh… nggak mungkin! Perasaanku berontak. Antara percaya atau tidak dengan berita itu. Sesuatu yang aku takutkan benar-benar terjadi. Di teras rumah Arin banyak sekali karangan bunga. Para tetangga datang sambil mengucapkan rasa belasungkawa. Aku benar-benar kehilangan sahabat yang aku cintai.
"Ariiiiiinnnnnn," aku tak kuasa menahan tangis.
"Tenang, Din. Tenang…. Ini sudah takdir. Sabar Din," Edo terus menenangkanku.
"Tapi nggak mungkin, Do! Aku masih nggak percaya!" Tiba-tiba suara yang sudah sangat aku kenal memanggilku.
"Dina, Dina." Aku menoleh. Dan, buukkk!!! Bantal empuk menghampiri mukaku dengan mulus. "Heh! Bangun! Jam berapa nih, Non? Katanya mau berangkat bareng? Ini kok malah enak-enakkan tidur!!! Wake up!!! Wake up!!!" suara Arin membangunkanku.
"Ya ampun, Arin! Bukannya kamu sudah, whuuaaa… Ariiiinnnn!!!" aku langsung memeluk Arin. Arin cuma bengong. "Heh! Dasar gila!! Kamu kenapa sih?? Pasti mimpiin aku ya? He he…."
"Iya, aku mimpiin kamu. Duh, ngeri sendiri aku…." "Mimpi apa sih, Din? Mimpi aku kawin sama Brad Pitt, Beckham, atau Orlando Bloom? He he he," kata Arin kepedean.
"Yah, kalo itu sih aku juga mau! Bukan mimpi juga nggak pa-pa! Malah senang aku!" "Yaaa, trus mimpi apa dong?" tanya Arin penasaran.
"Euumm, kayaknya nggak perlu aku ceritain deh! Yang penting sekarang kamu ada di samping aku selamanya…. Dan yang lebih penting lagi, goodbye nightmare. He he!"
"Dasar orang gila!"
Penulis adalah pelajar SMAN 10 Surabaya.
cerpen persahabatan Kado Empat Cewek
Oleh : Boim Lebon
“Ya, saya tawarkan diary ini dengan harga awal dua puluh ribu rupiah!” teriaknya lantang.
Keempat cewek ini kompak banget. Dina, Rina, Tina, dan Mirna ke mana-mana selalu berempat.
Kalo ke kantin pasti ketemu dengan empat cewek ini, ke perpustakaan juga begitu, ke lapangan basket juga, bahkan sampai ke kamar kecil sekali pun pasti ada empat makhluk-makhluk manis ini. Aku sih geleng-geleng kepala aja setiap kali bertemu mereka.
Mereka kerap aku undang ke acara OSIS, dan enaknya, kalau yang satu mau, yang lainnya pasti ikutan. Jadi lumayan, ngundang satu dapat empat. He he he, kayak sale aja.
Tapi belakangan, aku melihat ada perubahan pada keempat cewek kompak itu. Mereka memang masih ke mana-mana berempat, tapi di raut wajah mereka ada yang berubah, tak lagi tersenyum bersama, melainkan seperti menyimpan misteri sendiri-sendiri. Ada apa ya?
Rupanya, setelah aku dapat info dari salah seorang dari mereka, diam-diam empat cewek ini lagi naksir seorang cowok. Salah satu dari mereka yaitu Dina, bercerita kepadaku.
Katanya, yang awalnya naksir, Mirna, tapi karena sudah kebiasaan, yang lainnya ikut memperhatikan sang cowok dan ujung-ujungnya empat-empatnya jadi ikutan naksir. Tentu aja, yang begini nggak bisa dilakukan secara bersamaan. Masalah cinta nggak kenal istilah kompak-kompakan. Karena jatuh cinta adalah masalah hati, dan yang namanya hati punya rahasia sendiri-sendiri. Iya kan?
Dan jujur aja, untuk yang kayak begini aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa, wong aku sendiri nggak pernah naksir orang, kok. Apalagi sampe jatuh cinta. Paling aku bilang pada Dina, sebaiknya konsentrasikan diri pada pelajaran, nanti masalah itu bisa terlupakan dengan sendirinya. Tapi Dina bilang, justru ia nggak bisa belajar dengan konsentrasi kalau nggak ingat sama cowok itu. Duile segitunya!
Tapi besoknya aku dengar dari Dina lagi kalo keempat cewek itu sudah membuat kebulatan tekad.
“Hmm, gini deh, kalo kita mau memepertahankan kebersamaan kita, di antara kita tidak ada yang boleh naksir sama cowok itu lagi!” cerita Dina padaku.
“Setuju!” teriak tiga lainya, masih menurut cerita Dina.
Hmm, menurutku hebat. Mereka lebih memilih kebersamaan daripada harus pecah gara-gara seorang cowok ganteng.
Tapi apa iya mereka bisa kompak begitu? Rasanya kalau untuk naksir-naksiran, siapa pun nggak ada yang bisa dipercaya. Buktiin, deh. Soalnya sekarang si Dina, mendatangiku lagi dan bilang bahwa dia betul-betul tidak bisa melupakan bayangan si cowok itu.
“Dia ulang tahun, boleh nggak saya ngasih kado?” ujarnya memohon pendapatku.
“Ya, kalo cuma mau ngasih kado sih boleh-boleh aja. Kenapa tidak?” Ucapku.
“Hmm, jadi nggak apa-apa?”
“Emangnya kenapa?” pancingku
“Ya, kita kan udah janjian nggak mau naksir cowok itu lagi?”
“Memberi kado kan bukan menunjukkan bahwa kita naksir?”
“Tapi,” kata Dina dalam hatinya (kok aku bisa tau suara hatinya? He he he) “Aku ngasih kado ini karena sebetulnya masih naksir dia, dan sulit sekali melupakannya. Eh kamu janji ya, jangan bilang-bilang ke ketiga temanku itu kalo aku ngasih kado ke cowok itu.” sergah Dina lagi.
“Apa pernah aku cerita-cerita?” kayaknya dia nggak percaya sama reputasiku.
“Enggak, sih?”
***
Besoknya keempat cewek itu sudah mulai akrab lagi. Tapi pada hari yang sama, tepatnya di sore harinya, cowok yang mereka taksir itu datang kepadaku. Katanya dia mau melelang barang-barang yang merupakan kado-kado dari hasil pemberian beberapa orang. Hasil lelangnya itu akan disumbangkan ke kegiatan OSIS sekolah. Wah, boleh juga, tuh.
“Barangnya apa aja?” tanyaku.
Kemudian aku bersama teman-teman pengurus OSIS, diajak ke sebuah mobil yang terparkir di luar pagar sekolah. Ketika bagasinya dibuka, aku lihat banyak sekali barang yang ia tawarkan tapi masih berupa bungkusan kado.
“Yang mana yang mau dilelang?” tanyaku sedikit terheran.
“Semuanya….” jawab si si cowok kiyut itu.
Karena semua masih dibungkus dalam kertas kado, kita tidak tahu jangan-jangan ada hadiah yang sangat mahal harganya? Atau jangan-jangan ada yang isinya bom? He he he
“Nggak diperiksa dulu, atau dipilih-pilih yang mana yang kira-kira bisa dilelang dan yang mana yang bisa digunakan untuk pribadi?”
Si cowok cakep ini menekankan, “semuanya, dan tidak perlu diperiksa.”
Wah, wah, hebat juga nih cowok. Dalam hatiku, enak sekali jadi cowok ganteng ya, tiap ultah banyak yang ngasih kado. Padahal setahuku si cowok ini nggak bikin pesta, kado terus aja mengalir.
Aku tentu saja beterima kasih padanya. Si cowok ini lumayan sosial. Dia nggak gitu aktif di OSIS, tapi setahuku dia lumayan sering hadir di acara-acara OSIS. Diam-diam aku sempat memperhatikan sosoknya, dan menurutku sih wajar aja banyak orang (terutama cewek-cewek di sekolah ini) yang berusaha menarik perhatiannya dengan memberikan kado pada HUT-nya itu. Selain orangnya cakep, mudah bergaul, murah senyum, nggak sombong, dan ya itu tadi, punya jiwa sosial yang tinggi.
“Aku sudah bilang kepada mereka, bahwa kado-kado ini bebas aku apain aja, dan sekarang aku mau lelang,” ujar si cowok sebelum meninggalkan ruang OSIS. “Kalo dilelang, kita bisa dapat harga lebih tinggi, selain itu uang yang masuk bisa lebih mudah dimanfaatkan daripada kado-kado yang masih berupa barang. Misalnya ada yang ngasih kado jam tangan, nah buat apa jam tangan itu, mau ditaroh di dinding ruang OSIS?” Katanya sambil nyengir.
Aku manggut-manggut. Betul juga. Soalnya aku nggak gitu tahu isi kado-kado itu, sih. Makanya tadi kan aku ngasih saran supaya diperiksa dulu isinya. Ternyata dia berniat untuk melelang semuanya.
Akhirnya aku bersama pengurus OSIS sepakat bikin acara lelang. Semua anak sekolah diperbolehkan datang. Sehari sebelum lelang aku bikin pengumuman.
“Eh, lelang barang kado ultah? Apa maksudnya?” tanya Dina kaget.
Aku menceritakan kejadiannya, dan tentu saja Dina makin kaget. “Tapi… nama pengirim kadonya disebutin nggak?” ujarnya sedikit ketakutan.
“Ya, enggak tau juga, ya, soalnya dia sendiri yang mau ngelelang barang-barang itu…” ujarku.
Dina manggut-manggut.
Pada kenyataanya, si cowok menyebutkan semua barang-barang yang dilelang berikut nama si pemberi barang, karena dia hapal betul nama-nama si pemberi hadiah itu. Misalnya saja ketika ia mengangkat sebuah diary mungil, dia langsung bilang terima kasih pada Anti, yang sudah memberikan buku itu, tapi bukannya bermaksud merendahkan pemberian itu, tapi justru dengan melelangnya, diary ini jadi lebih berarti, “Ya, saya tawarkan diary ini dengan harga awal dua puluh ribu rupiah!” teriaknya lantang.
Maka serentaklah orang-orang (kebanyakan cewek-cewek) mengangkat tangan, yang memberi harga variatif, mulai dua puluh lima ribu, lalu tiga puluh ribu, lalu lima puluh ribu, sampai ada seseorang yang berani membelinya dengan harga, “Seratus ribu!”
“Ada lagi?” pancing si cowok.
Tidak ada lagi yang menunjuk tangan kecuali Anti. Lalu Anti maju ke depan dan menyerahkan uang seratus ribu pada si cowok, dan mengambil diary mungil itu. Dia mendekati si cowok dan meminta tanda tangan pada diary tersebut. Lalu memeluk diary itu dengan hangat.
Aneh, aku betul-betul geleng-geleng kepala. Bukunya sendiri yang dijadikan kado lalu dibelinya lagi dengan harga tinggi. Hi hi hi.
“Selanjutnya ada jam tangan, ini pemberian dari persahabatan saya Dina… saya lelang dengan memulai penawaran… dua ratus ribu…”
Kejadian selanjutnya mirip dengan yang pertama tadi, meskipun banyak orang yang berebut angkat tangan dengan aneka penawaran harga, tapi ujung-ujungnya justru si pemilik barang itulah yang memberi penawaran harga tertinggi. Sudah bisa dipastikan Dina mengambil jam tangan itu dengan perasaan senang.
Setelah itu si cowok menyebutkan barang pemberian Rina, Tina, Mirna dan yang lainnya. Ya, semua barang akhirnya terjual lebih mahal dari harga aslinya. Perkiraan si cowok tepat, uang lebih banyak terkumpul dan lebih mudah digunakan untuk pengembangan kegiatan OSIS serta berbagai macam kegiatan lainnya.
“Terima kasih ya, “ ucapku pada si cowok itu. Si cowok tersenyum setelah meyerahkan sejumlah uang.
Sementara kulihat keempat cewek kompak itu di pojokan sedang menimang barang-barangnya masing-masing.
“Kamu ternyata ngasih kado ya ke cowok itu?” ujar Mirna ke Dina.
“Kamu juga,” sergah Dina.
“Ssst, sudahlah, kamu juga ikutan ngasih kado, kan?” ujar Tina.
“Iya, berarti kita udah nggak kompak lagi. Diam-diam kita masih memperhatikan dia, memberikan kado, untung kadonya dilelang, jadinya ketahuan, coba kalo nggak dilelang, pasti diam-diam kita masih naksir terus ke dia,” beber Rina.
“Jadi gimana, dong?” tanya Dina
“Kita udah nggak jujur lagi. Percuma aja kompak-kompakan selama ini,” imbuh Rina.
Selanjutnya mereka berempat meninggalkan pojokan itu dengan langkah-langkah gontai. Hmm, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah mereka akan bubaran setelah kejadian ini? Bercerai-berai untuk meneruskan persaingan mendapatkan perhatian si cowok cakep itu? Hmm, entahlah, yang jelas keempat cewek kompak itu terus saja melangkah.
***
Keesokan harinya, aku melihat keempat cewek itu tampil bersama dan nampak lebih heboh, mereka bergaya bak model-model majalah yang mau fashion show, bahkan sebelum sampai ke sekolah, keempat kembar siam itu, katanya mampir ke salon dulu untuk touch up! Wah, wah…
Di kantin, ketika hendak jajan, aku sempat berpapasan dengan Dina, dia bilang katanya genk-nya mau bersaing secara sehat dan alamiah, “pokoknya setiap hari tampil kinclong, ‘ntar siapa yang dipilih ama si cowok cakep, itulah yang beruntung,” terangnya. “Yyyuuukkk …!“
Aku cuma bisa melongo.
Sumber : Aneka Yess Online
Selasa, 18 Agustus 2009
serpen cinta dan persahabatan
Acara televisi sore ini tak satupun membuat aku tertarik. Kalau sudah begini aku bingung entah apa yang harus aku lakukan. Tio bersama Sany kekasihnya, sahabatku Ricky entah kemana? Mall, bioskop ataupun perpustakaan, bukan tempat yang aku suka, apalagi mesti pergi sendirian.
mmm…Pantai.
Ya pantai. kayaknya hanya pantailah, tempat yang mampu membuat aku merasa damai dan tak aneh jika aku pergi sendirian.
Kuambil jaket, lalu kusamber kunci dan pergi menuju garasi. Kukendarai mobil mama yang nganggur di sana. Papa dan mama lagi keluar kota, jadi aku bisa keluar dan mengendari mobilnya dengan leluasa.
Terik panas masih menyengat, walaupun waktu sudah menjelang sore. Namun tak membuat manusia-manusia di Ibukota berhenti beraktivitas meskipun di bawah terik matahari yang mampu membakar kulit. Jalan-jalan macet seperti biasanya. Dipenuhi mobil dari merek ternama ataupun yang sudah tak layak dikendarai.
Lalu di depan kulihat pemandangan lain lagi. Pedagang kaki lima duduk lesu menunggu pelangannya.
Krisis yang melanda membuat banyak orang hati-hati melakukan pengeluaran, bahkan untuk membeli jajan pasar.Walaupun tak seorang yang menghampirinya, namun dia tetap semangat menyapa orang-orang yang lewat dan akhirnya ada juga satu pembeli yang menuju arahnya.
Sekilas kulihat orang itu kok mirip sekali dengan Ricky. Kugosok-gosok mataku, menyakinkan pandanganku. Kutepikan mobilku, lalu aku berhenti di tepi jalan itu. Dengan setengah berlari, aku mengejar sosok itu.
Ah…kendaraan sore ini banyak sekali, sehingga membuat aku kesulitan untuk menyeberang jalan ini. Tapi akhirnya terkejar juga, dengan nafas tersengal-sengal, kujamah bahunya.
“Ky!” seruku tiba-tiba, sehingga membuatnya terkejut.
“Anda siapa?” tanya Ricky pura-pura tak mengenalku.
“Ky. Sekalipun kamu jadi gembel , aku akan tetap menggenalmu.” jelasku mendenggus kesal.
“Sudahlah, Sophia, jangan membuat aku terluka lagi.” tukasnya begitu sinis seraya beranjak pergi.
“Ky…Ky…knapa kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku!” teriakku sekeras-kerasnya. Namun bayangan Ricky semakin menjauh dan akhirnya tak kelihatan.
***
Ricky, Tio dan aku adalah sahabat karib dari kecil. Setelah tumbuh besar, aku tetap mengganggap Ricky adalah sahabat terbaikku, tapi Ricky punya rasa berbeda dari persahabatan kami. Yang aku cintai adalah Tio. Ini yang membuat Ricky menjauhiku. Tapi yang Tio cintai bukan aku, tapi Sany, teman sekelasnya.
Cinta, sulit di tebak kapan dan di mana berlabuh!
Banyak orang tak bisa terima, jika cintanya ditolak, tapi bukankah cinta tak mungkin dipaksa?
Tak mendapatkan cinta Tio, tak membuatku menjauh darinya, tapi aku akan tetap menjadi sahabat baiknya. Walaupun ada sedikit rasa tidak puas, kadang rasa cemburu menganggu hati kecilku, saat kutahu untuk pertama kali, orang yang Tio cintai adalah orang lain.
Aku harus bisa menerima keputusannya , walaupun terasa berat . Bukankah, kebahagian kita adalah melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia, baik bersama kita atau tidak?
Tapi tidak dengan Ricky, dia lebih memilih, meninggalkanku, mengakhiri persahabatan manis kami. Pergi dan aku tak pernah tahu kabarnya. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu berharap suatu saat kami akan dipertemukan lagi.
Karena bagiku, cinta dan persahabatan adalah dua ikatan yang sama. Ikatan yang tak satupun membuat aku bisa memilih satu diantaranya.
***
Sudah seminggu, setiap hari, aku datang kepersimpangan ini. Berharap bisa melihat sosok Ricky lewat disekitar sini lagi. Tapi, Ricky hilang bagai ditelan bumi. Aku hampir putus asa.
Aku sudah capek menunggu, akhirnya aku bangun dan ingin beranjak pergi. Knapa tiba-tiba, indera keenamku, memberiku insting, kalau Ricky ada di sekitarku.
Kubalikan kepala, kulihat sosok Ricky setengah berlari menyeberang jalan di belakang posisiku. Aku berlari menggejar sosok itu. Kuikuti dia dari belakang. Aku pingin tahu dimana dia berada sekarang.
Akhirnya kulihat Ricky, masuk ke sebuah gang kecil, kuikuti terus , sampai akhirnya dia masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana.
“Knapa Ricky lebih memilih hidup disini, daripada di rumah megah orangtuanya?”
”Knapa dia, tinggalkan kehidupannya, yang didambakan banyak orang?”
”Knapa semua ini dia lakukan?”
“Knapa?”
Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.
Setelah dia masuk kurang lebih 10 menit, aku masih berdiri terpaku dalam lamunanku, dengan pertanyaan-pertanyan yang jawabanya ada pada Ricky. Aku dikejutkan suara seekor anak anjing jalanan, yang tiba-tiba menggonggong.
Aku memberanikan diri memencet bel di depan rumahnya itu.
“Siapa?” terdengar suara dari balik pintu.
Aku diam, tak memberi jawaban. Setelah beberapa saat aku lihat Ricky pelan-pelan membuka pintu. Nampak keterkejutannya saat melihatku, berada di depannya.
“Ky…boleh aku masuk?” tanyaku hati-hati.
“Maukah kamu memberikan sahabatmu ini, segelas air putih.” ujarku lagi.
Tanpa bicara, Ricky mengisyaratkan tangannya mempersilahkan aku masuk. Aku masuk keruangan tamu. Aku terpana, kulihat rumah yang tertata rapi. Rumah kecil dan sederhana ini ditatanya begitu rapi, begitu nyaman. Kulihat serangkai bunga matahari plastik terpajang di sudut ruangan itu.
“Ricky, kamu tak pernah lupa, aku adalah penggagum bunga -bunga matahari.” gumanku.
Dan sebuah akuarium yang di penuhi ikan berwarna-warni, rumput-rumput dari plastik dan karang-karang di dalamnya. Ricky tahu betul aku penggagum keindahan pantai dan laut. Walaupun hal-hal ini dulunya, setahuku, kamu tak menyukainya. Kulihat juga banyak foto persahabatan kami yang di bingkainya dalam bingkai kayu yang sangat indah, terpajang di dinding ruang tamu ini.
Bulir-bulir air mataku, perlahan-lahan mulai tak mampu aku bendung. Aku benar-benar terharu dengan semua yang Ricky lakukan. Begitu besar cinta Ricky buatku. Kupeluk dia, yang aku sendiri tak tahu, apakah pelukan ini adalah pelukkan seorang sahabat ataupun sudah berubah menjadi pelukan yang berbeda?
Ricky kaget, namun akhirnya dia membalas pelukanku, dan memelukku lebih erat lagi , seakan-akan ingin menumpahkan segala rindu yang sudah hampir tak terbendung dalam hatinya.
Kami menghabiskan sore ini dengan berbagi cerita, pengalaman kami masing-masing selama perpisahan yang hampir 2 tahun lamanya dan akhirnya Ricky mengajakku makan, ke sebuah restoran kecil yang sering dikunjunginya seorang diri, di dekat rumahnya. Terdengar alunan tembang-tembang romatis , suasana hening, membuat kami terbuai dalam hangatnya suasana malam itu.
***
Sekarang Ricky sudah tahu, Tio sudah bersama Sany. Kami sekarang menjadi 4 sekawan. Sany juga telah menjadi anggota genk kami.
Ternyata setelah aku mengenalnya lebih lama, Sany adalah sosok yang sangat baik hati, menyenangkan, ramah dan peduli dengan sahabat. Ah…menyesal aku tak mengenalinya lebih dalam sejak dulu.
“Ky , biarlah semua berjalan apa adanya, mungkin cinta akan pelan-pelan muncul dari hatiku.” ujarku suatu hari, saat Ricky mengungkit masalah ini lagi.
“Oke, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapapun. Karena tak akan ada seorangpun yang mampu membuatku jatuh cinta . Hanya kamu yang mampu membuat aku damai, tenang dan bahagia.” jelasnya panjang lebar
Sekarang aku memiliki tiga orang sahabat baik. Tak akan ada lagi hari-hariku yang kulalui dengan kesendirian, kesepian dan kerinduan.
Hampir setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu bersama, ke pantai, ke puncak ataupun hanya sekedar berkaroke di rumah sederhana Ricky. Hidup dengan tali persahabatan yang hangat, membuat hidup semakin berarti dan lebih bahagia.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah berlalu. Kebaikan-kebaikan Ricky mampu membuat aku merasa butuh dan suka akan keberadaannya di sampingku. Rasa itu pelan-pelan tumbuh tanpa kusadari dalam hatiku.
Aku jatuh hati padanya setelah melalui banyak peristiwa. Cinta datang, dalam dan dengan kebersamaan.
Apalagi dengan sikap dan perbuatan yang ditunjukannya. Membuat aku merasa, tak akan ada cinta laki-laki lain yang sedalam cinta Riky.
Sekarang Ricky bukan hanya kekasih yang paling aku cintai tapi juga seorang sahabat sejati dalam hidupku.
Minggu, 02 Agustus 2009
cerpen cinta, indahnya persahabatan
cerpen persahabatan
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini
by joe