Oleh: Ambar Widowati
Aku dan Arin adalah sepasang sahabat. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sangat kagum pada sosok Arin. Dia bukan cuma persahabatan yang baik, tapi juga pintar. Dia selalu membantu jika aku kesusahan mengatasi soal-soal pelajaran.
Suatu hari, Arin terlihat sangat pucat. Dia menggigil kedinginan. Aku sudah berusaha menanyainya, tapi tetap saja Arin tidak mau mengaku.
"Aku nggak pa-pa kok, Din. Percaya deh! Mungkin cuma masuk angin!" kata Arin meyakinkanku.
"Mending kamu ke UKS saja deh!! Muka kamu tuh pucat banget. Kalo ternyata bukan masuk angin gimana? Ntar malah bikin repot orang tua kamu!"
Akhirnya Arin menuruti nasihatku. Di UKS, Arin menolak diberi obat. Katanya, dia alergi sama obat yang nggak pernah dikonsumsi. Alhasil, Arin hanya diberi minyak kayu putih dan petugas UKS menyuruhnya tiduran. Aku segera menelepon Pak Badri, sopir Arin. Beberapa menit kemudian, Pak Badri datang.
"Makasih ya, Non, sudah jagain Non Arin," kata Pak Badri ramah. "Iya, sama-sama, Pak. Tolong langsung anterin Arin ke rumah ya! Trus, langsung suruh dia minum obat. Oia, jangan lupa suruh dia makan dulu!" "Aduh, Non Dina nih benar-benar perhatian ya sama Non Arin. Nyonya saja kalah lho, Non!"
"Ah, Pak Badri bisa saja! Ini kan sudah kewajiban Dina sebagai teman Arin. Ya sudahlah, Pak, ati-ati ya di jalan!"
"Mari, Non!" Bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera mencari tebengan pulang. Maklum, biasanya kan aku bareng Arin karena rumah kami searah. Untunglah ada Edo yang baik hati mengantarkan aku pulang sampai rumah. Tapi dengan syarat, aku mengganti uang bensin. Dasar perhitungan! Dalam hati aku bersorak riang karena apa yang menjadi impianku terkabul. Aku pulang bareng Edo, gebetanku.
"Arin tadi kenapa, Din?" aku langsung terbangun dari lamunanku. Nggak tahu tuh! Tadi sih katanya cuma masuk angin, tapi kok sampai pucat gitu !
"Oh, kirain dia kenapa gitu…"
"Kenapa apanya?"
"Ha?! Oh…nggak….nggak kenapa-kenapa…. Eh, Din sudah nyampe nih!!"
"Tenkyu ya, Do! Uang bensinnya besok saja di sekolah! Aku lagi nggak bawa duit nih!"
"Beres! Ya sudah, aku pulang dulu ya, Din!"
"Ati-ati ya, Do! Daaahhh!!!"
Siang ini terasa panas sekali. Aku merebahkan diri di kasur tercintaku. Lumayan kalo bisa tidur. Soalnya, nanti sore aku ada les. Tak lama kemudian ponselku berdering. "Sialan!! Siapa sih siang-siang gini nelepon? Duh, mataku tinggal 5 watt lagi!" umpatku dalam hati.
"Halo Din…. Lagi ngapain nih? Ntar les kan? Aku jemput ya?" suara Edo terdengar begitu nyaring. "Oh kamu, Do! Ganggu orang tidur saja! Iya, aku les. Kenapa? Mau nebengin aku lagi?" ujarku setengah sadar.
"Tahu saja! Sekalian ambil duit bensin gitu lho! He he."
"Dasar perhitungan!! Kamu jemput aku jam berapa?" kataku sambil menahan rasa ge-er ditambah ngantuk.
"Gimana kalo jam 3-an?"
"Ya terserah kamu deh!!"
"Ya sudah! Wait for me ya, Din! Met tidur…" suara Edo terdengar sangat manja. Rasa kantuk yang sedari tadi melandaku langsung hilang begitu saja. Aku masih terngiang-ngiang suara Edo. Ahhh….indahnya dunia! He he he… Aku pun segera pergi mandi meskipun tahu sekarang masih pukul 13.45. Tapi, nggak pa-pa, demi Edo….
Seusai mandi aku mengecek ponselku, "1 message received." Aku membukanya. Ternyata dari Arin. "Din, aq ijinin g’ msuk les y! Aq mau ke dokter. Tenkyu, Din." Singkat, padat, dan jelas.
"He-eh, ntar aq ijinin. Tp ntar jgn lupa kasih kbr ya! Oia, aq td pulang nebeng Edo lho! Whuuaa, senangnya! Ntr aq les jg dijemput ma dia! Wish me luck ya, Rin! Hehe… =)" Setelah membalas SMS Arin, aku segera berganti pakaian. "Arin sakit apa ya?" batinku.
"Dinaaa!" suara Edo terdengar sangat nyaring dari luar.
"Iya bentar. Aku masih ganti baju!" "Waahh, ikut dong!!! He he…."
"Kurang ajar!!" Sepuluh menit kemudian aku selesai berganti pakaian. Aku segera menghampiri Edo di teras. "Udah siap? Kita berangkat sekarang?"
"Nggak… besok saja! Ya iyalah sekarang! Aneh…."
"Tapi ganteng kan?? He he he!" Aku berusaha menyimpan raut muka yang aku tahu pasti sekarang sudah merah kayak tomat.
"Sudah ahh!! Nggak penting banget!" jawabku sebisa mungkin terlihat biasa.
"Nih helmnya! Pegangan ya!"
"Iih! Maunya!"
Di jalan aku menceritakan SMS Arin tadi siang.
"Euumm, gimana kalo ntar pulang les kita mampir ke rumah Arin dulu?"
"Ayo! Tapi gak pakai nambah duit bensin ya!"
"Beres!"
Sesampai di tempat les, aku menonaktifkan ponsel. Maklum, peraturan di tempat lesku ini sangat ketat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mending aku matiin dulu ponselku.
Dua jam berlalu….
"Teeeettt!!!" bel akhir pelajaran berbunyi. Aku bergegas membereskan bukuku dan langsung menghampiri Edo di kelas IPS.
"Rez, Edo mana?" tanyaku pada Reza alias Echa, salah seorang teman sekelas
"Edo? Tuh, lagi merenung. Kayaknya dia habis dapat berita spektakuler gitu!" jawab Reza dengan gaya khasnya, melambai alias kayak banci.
"Hush! Ngaco! Emang berita apa?"
"Yeee…. Mana eike tahu!! Bukan urusan eike! Dia kan bukan cowok eh cewek eike! Salah sendiri kenapa selama ini Aa’ Edo mesti ngacangin Echa! Echa kan jadi sebel!" jawab Reza sekenanya. Dasar banci….batinku.
"Do, kamu kenapa? Ada masalah? Kok kayaknya bad mood gitu?" Edo diam.
"Do, kamu kenapa sih? Aneh banget! Perasaan tadi kamu ceria banget deh, trus tiba-tiba jadi diem kayak gini. Emang kenapa sih, Do? Cerita dong! Sapa tau aku bisa bantu kamu!" ujarku.
"Mending, kamu baca saja sendiri," kata Edo sambil menyerahkan ponselnya kepadaku. "Hah?! Nggak mungkin!! Ini pasti bohong!!! Aku tau kalian berdua pasti ngerjain aku! Ini nggak mungkin kan, Do?!!" aku lepas kontrol. Tak terasa air mata mulai mengalir dari mataku.
"Sumpah, Din!! Aku nggak bo’ong! Tadinya sih aku mengira itu cuma lelucon Pak Badri! Kamu tahu sendiri kan kalo Pak Badri doyan banget ngerjain orang? Tapi rasanya nggak mungkin kalo dia bikin lelucon sampai kelewatan kayak gini! Apalagi sampai ngorbanin majikannya sendiri!"
"Tapi nggak mungkin, Do!!! Nggak mungkin," aku semakin tersedu-sedu.
Edo berusaha menenangkanku. "Kalo kamu masih nggak percaya, mending kita sekarang pergi ke rumah Arin. Dari situ kita bakal tahu berita ini benar atau nggak!"
Di jalan aku benar-benar tidak tenang. Apa mungkin perasaanku benar? Bahwa aku akan kehilangan, ahh… nggak mungkin! Perasaanku berontak. Antara percaya atau tidak dengan berita itu. Sesuatu yang aku takutkan benar-benar terjadi. Di teras rumah Arin banyak sekali karangan bunga. Para tetangga datang sambil mengucapkan rasa belasungkawa. Aku benar-benar kehilangan sahabat yang aku cintai.
"Ariiiiiinnnnnn," aku tak kuasa menahan tangis.
"Tenang, Din. Tenang…. Ini sudah takdir. Sabar Din," Edo terus menenangkanku.
"Tapi nggak mungkin, Do! Aku masih nggak percaya!" Tiba-tiba suara yang sudah sangat aku kenal memanggilku.
"Dina, Dina." Aku menoleh. Dan, buukkk!!! Bantal empuk menghampiri mukaku dengan mulus. "Heh! Bangun! Jam berapa nih, Non? Katanya mau berangkat bareng? Ini kok malah enak-enakkan tidur!!! Wake up!!! Wake up!!!" suara Arin membangunkanku.
"Ya ampun, Arin! Bukannya kamu sudah, whuuaaa… Ariiiinnnn!!!" aku langsung memeluk Arin. Arin cuma bengong. "Heh! Dasar gila!! Kamu kenapa sih?? Pasti mimpiin aku ya? He he…."
"Iya, aku mimpiin kamu. Duh, ngeri sendiri aku…." "Mimpi apa sih, Din? Mimpi aku kawin sama Brad Pitt, Beckham, atau Orlando Bloom? He he he," kata Arin kepedean.
"Yah, kalo itu sih aku juga mau! Bukan mimpi juga nggak pa-pa! Malah senang aku!" "Yaaa, trus mimpi apa dong?" tanya Arin penasaran.
"Euumm, kayaknya nggak perlu aku ceritain deh! Yang penting sekarang kamu ada di samping aku selamanya…. Dan yang lebih penting lagi, goodbye nightmare. He he!"
"Dasar orang gila!"
Penulis adalah pelajar SMAN 10 Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar