Senja masih memerah, hawa panas dan lengkingan kendaraan tengah kota menabuhkan. Sesak yang mendesak desak. Mengusik kelelahan. Seharian pikiranku disibukkan oleh pekerjaan ini. Jangan tanya mengapa aku terjun ke dunia jurnalistik yang sama sakali belum pernah ku geluti semasa kuliah dulu. Aku pun tak tahu jawabannya. Mungkin memang nasib yang menulis namaku dan pekerjaan ini dalam satu garis. Jadi aku harus berdamai pada cita-cita awal, menjadi seorang akuntan.
Yap, dulu aku mengambil jurusan akutansi pada Fakultas Ekonomi. Kalau tidak akuntan, aku mengira akan jadi seorang ekonom, pengusaha muda yang sukses atau apalah sehingga masih dapat membuat gelar sarjana ekonomiku dapat mengamalkan ilmu pasti yang kuperoleh nyaris enam tahun. Sebagai anak lelaki tertua harusnya aku malu. Adik perempuanku setahun lebih dulu menyelesaikan studinya di Fakultas Keguruan. Dan sekarang tak lain tak bukan ia bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di Sekolah Negeri. Dua tahun setelah bekerjaq ia menikah. Memiliki dua anak yang lucu-lucu dan hidup bahagia. Suaminya penyayang dan bertanggung jawab. Hidupnya penuh cinta, tapi sialnya itulah hal yang selalu di banding-bandingkan ibuku terhadap nasibku yang menyedihkan ini.
Hidupku yang masih belum jelas tanpa pendamping dengan usia kepala tiga. Sebenarnya ini bukan beban bagiku. Tapi ibuku takut aku bertransformasi menjadi homoseksual jika begini terus. Maka ibuku mulai gencar mempromosikan aku di hadapan anak gadis teman arisannya. Tapi ugh!! Dimana harga diriku terus-terusan di jodoh-jodohkan seperti ini. Kalau bicara soal tampang, aku lumayan lah, pernah lihat jacky chan atau pangeran charles ? hiks, itu sih kejauhan. Tapi sebelas duabelas lah dengan wajahku. Tinggiku juga lumayan, 173 senti bisa-bisa membuat para gadis berada di awang-awang galaksi jika bersandar di dada bidangku. Apalagi mataku yang coklat pasti akan membuat mereka blingsatan saat ku tatap dengan sejuta pesonaku. Tapi bukannya aku tak hendak segera mengakhiri masa lajangku. Aku juga ingin menikahi seorang bidadari. Tapi MASALAHNYA adalah soal hati. Aku tak ingin terburu-buru mencarinya. Butuh waktu.
Tepat pukul sepuluh malam, ketika bulan sabit yang menua memamerkan cahaya keperakannya. Menggodaku untuk menghabiskannya dengan terlelap merangkai mimpi bertemu bidadari, mengejanya dalam doa dan mendatangkannya dalam selaksa nyata. ZzZzzzz zzz, aku mulai tertidur, Terbius dalam kawah cakrawala dunia tak nyata, disana aku bertemu bidadari, cantik sekali. Berpakaian putih dengan mahkota yang berkilau. Dia tersenyum padaku. Aku menjangkaunya namun tak tersentuh. Aku berteriak memanggilnya namun tak bersuara. Tapi .. “Kring!! KRing!!”. Sial, handphone ku menjerit minta diangkat. Ingin rasanya handphone itu ku lempar ke planet Pluto agar tak menggangguku bertemu bidadari.
“halo” sapaku
“Ardi, ada razia PSK di gang belakang kantor pos, cepet diliput !!” tut..tut.. kemudian tanpa ba bi bu telepon pun di tutup sepihak.
Huh, yang benar saja! Kalau bukan tuntutan profesi, aku tak kan mengaktivkan nomorku pada jam-jam bermimpi seperti ini. Mengharukan bukan? Harus meninggalakan bidadariku demi bertemu PSK dan meliputnya. Terbayang sudah wajah-wajah perempuan yang akan ku liput.. Pasti hanya akan terlihat sekujur rambut yang tergerai menutupi wajahnya. Sekian kali aku meliput hal-hal seperti ini. Dan beritanya begitu-begitu saja. Kalau tidak PSK-nya mengulangi pekerjaannya lagi, paling-paling akan lahir PSK baru di gang yang baru pula. Dan gang gang itulah tempatku bekerja selain di kantor, Tempat Kejadian Perkara. Bekerja sebagai wartawan membuat ku terbiasa dengan semua hal yang serba mendadak, serba di deadline, dan serba tanpa koma. Dunia yang ku jalani nyaris tanpa batas. Tapi memang seperti itulah yang sebenarnya kumau, bebas tanpa batas-batas.
Tak sampai 15 menit kakiku telah berpijak pada dunia lain. Dunia yang biasanya hingar binger justru pada jam-jam istirahat. Dunia yang dikenal orang sebagai dunia malam. Di gang sempit ini masih tercium bau parfum merasuk kedalam rongga. Suara gaduh bercampur suara kendaraan SatPol PP riuh rendah. Malam yang damai telah berubah menakutkan bagi para mereka yang terjaring. Aku membidikkan lensa kamera ku pada beberapa pemandangan yang kurasa memiliki nilai berita. Kemudian bersiap menggenggam pena dan notebook untuk mencatat beberapa informasi yang akan ku peroleh dari berbagai sumber.
Lelah juga, tapi hasilnya lumayan. Jika besok pagi beritaku ini naik kehalaman depan, aku akan berbangga setengah mati pada rekan-rekan di kantor. Bukannya untuk sekadar menaikkan gengsi. Tapi maklum, beritaku yang sudah-sudah belum pernah naik ke halaman depan.
Bintang sedikit meredup ketika gang di belakang kantor pos itu telah senyap. Tak kurasakan lagi ada tanda-tanda berita yang akan ku liput disini. Tepat jam 2 pagi ketika batas lelah mataku membujuk nurani untuk pulang kerumah. Terbayang hasrat melanjutkan mimpi tertunda tadi. Tapi, eitss,, tunggu dulu. Belum lagi kunyalakan mesin motor butut ini, telingaku mendengar sayup suara tangis. Bulu kuduk ku bergidik setelah ku dapati lagi suara itu adalah suara perempuan. Sejuta nyali ku pertaruhakan untuk mencari sumber suara itu. Dan, tahu apa yang terjadi? Suara seorang nyaris seperti bidadari, cantik sekali. Sedang apa dia di tempat seperti ini tepat jam 2 pagi. Ketika ku tanya, sial! Dia malah terus menangis. Dan atas nama perikemanusiaan aku tak bisa meninggalkannya sendiri.
1 tahun kemudian…
“mas aku hamil”
Bagaimana seorang suami tidak bahagia mendengar istrinya mendeklarasikan bahwa dirinya hamil. Aku akan segera punya anak? Ah, benarkah.
Tak terbayang ketika aku memutuskan untuk menikahinya dulu. Betapa hati ku berunjuk rasa. Mengultimatum bahwa aku tidak akan pernah merasakan sakralnya selaput dara pada malam pertama jika aku menikahinya. Perempuan yang ku temukan sedang menangis di sudut gang yang terazia. Tapi sekali lagi, ini soal hati. Aku memutuskan menikahinya bukan lantaran ibuku yang uring-uringan memaksaku menikah. Juga bukan karena iba pada diriku yang masih single di ujung 30-an. Aku benar-benar merasakan sesuatu padanya, sesuatu yang tidak menuntut. Sesuatu yang ingin ku beri tanpa selaksa harapan ingin di beri. Sesuatu yang benar-benar bergejolak dan tulus. Yah, bisa dibilang sesuatu itu.. ehm..ehm.. .Cinta.
Bukankah setiap orang berhak untuk diberi kesempatan kedua atas masa lalu nya yang segelap gerhana sekalipun? Tanpa terkecuali bagi bidadariku yang datang dari dunia malam. Dan ketika aku membawakannya cahaya lilin di tengah gersang dan gempita jalan buntu yang sebenarnya tak pernah ingin ia lewati, ketika itulah aku bukan hanya telah menjadi penerang jalannya, tapi juga menjadi penerang atas hatiku sendiri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar