Kamis, 23 Juli 2009

cerpen cinta, lelaki dan rindu

Tempat ini kian gelap. Apakah sudah malam? Ah, tidak. Hari belum malam. Tapi, mengapa hitam demikian padu di depan mataku? Aku terus berjalan. Berlari. Anehnya aku masih merasa tetap di tempat.

“Doni, lupakanlah aku.” Tiba-tiba suara itu terdengar. Sayup, pelan sekali. Namun kupastikan aku bisa menerka siapa pemilik suara merdu itu.
Ela, kau Ela kan? Wahai kekasihku, di mana dirimu? Telah sekian lama aku menanti, telah sekian lama pula aku mencari. Kau tahu? Kerinduanku padamu telah menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Belum sempat kukirim karena kau hilang begitu saja. Ela, kembalilah. Aku begitu ingin mendekapmu.”

“Sadarlah, Don. itu tak akan mungkin terjadi. Kita tak mungkin bisa bersama lagi.”

“Tapi mengapa, Ela? Mengapa? Apakah kau tak ingin kita kembali seperti dulu? Masih ingatkah, ketika matahari hampir terbenam, kita duduk di atas bebatuan. Menunggu kiriman gelombang dari laut, lalu kita membalasnya dengan sajak-sajak cinta. Menulisnya dengan kasih, dengan sayang. Tapi mengapa? Mengapa sekarang kau pergi? Kau pergi tanpa sepengetahuanku, Ela. Kau tinggalkan aku sendirian di sini. “

“Don, sudahlah. Jangan kau ungkit masa lalu. Lupakan saja. “
“Apa? Lupakan? Setelah hidup seluruhnya kuabadikan untuk menjagamu, nafasku hembuskan untuk tetap bisa menyebut namamu, pun kisah-kisah hanya bercerita bagaimana diriku bertambat di hatimu. Tidak, Ela, aku tak bisa.”

“Don, apa kau tidak tahu, aku tak akan bisa lagi di sampingmu, menyambung kembali benang kenangan kita, menyulamnya jadi harapan, jadi impian yang kau katakan. Tidak, itu tak mungkin. “

“Ela, lama sudah kita tak bersua. Namun rasa rindu masih saja bergelora. Dan seperti dulu, masih seperti dulu, aku menulis penantian dalam kekecewaan yang telah jadi kanvas, tempatku menulis gundah, melukis resah, tempat mendiskusikan segala keluh-kesah, memperdebatkan tentang sebuah pertanyaan, mengapa kita berpisah?”

“Don, cukup! Jangan kau lanjutkan.”
“Ela, di mana kau? Tunjukkanlah wujudmu agar aku bisa melihatnya. Aku begitu ingin mendekapmu, Ela. Aku begitu merinduimu. Kembalilah, Ela, kembalilah!”

Aku terbangun. Rupanya hanya mimpi. Bajuku basah karena keringat. Mengapa Ela tiba-tiba hadir di mimpiku? Ah, malam ini terasa begitu panjang.

Aku keluar dari kamar. Mencari whisky. Perlahan tapi pasti, kureguk minuman haram jadah itu. Aku menikmatinya. Senikmat seorang lelaki yang sedang bersenggama, melepaskan nafsu, mengadu birahi dalam dinginnya malam bersama seorang perempuan yang amat dikasihi atau seorang perempuan simpanan kalau tak ingin katakan pelacur.

Sudah dua botol whisky kuhabiskan. Dalam keadaan setengah mabuk, aku berjalan tanpa tujuan. Badanku terhuyung-huyung. Aku tersungkur. Jatuh. Terlentang di atas lantai. Aku ingin bangun. Tapi tak bisa. Mataku berkunang-kunang. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Ia berpakaian warna putih. Wajahnya cantik, memiliki sepasang sayap yang indah. Bak bidadari, senyumannya sangat menawan. Kugosok-gosokkan mataku, “Ela?”

“Ya, Don. Aku Ela.”
“Ela, benarkah kau itu?” Ela, mendekatlah, Aku ingin memegang wajahmu.”
Ku coba berdiri. Tak bisa. Kepalaku terasa berat. Aku terus menggapai-gapai selendang putih yang dikenakan Ela di lehernya, pun tak bisa. “Sudahlah, Don. Saatnya kau menyadari bahwa aku sudah pergi.”
“Tidak, Ela. Aku mohon. Apakah tak ada lagi cinta untukku? “
“Don, jika kau tanyakan cinta, ya, aku masih mencintaimu. Tapi itu tak bisa aku jadikan alasan untuk bisa kembali padamu.”

“Ela, aku rindu. Sentuhan sajakmu yang selalu membelai mimpi malamku. Senandung lagumu yang membuat sunyi cemburu pada penantian di hari-hariku, juga suaramu yang telah mengisi imaji hingga kehampaan tak pernah bisa bertandang di benakku. Tapi, Ela, setelah kepergianmu, dan pencarianku pun tak berujung pertemuan, penantian tak menampakkan harapan, membuatku kehilangan Ela. Aku kehilangan. Di laut kenangan kita, aku mati. Terkubur dalam cerita-cerita yang berujung pada perpisahan. Pahamilah Ela, aku pun semakin rapuh bersama rumah rindu yang terus dihujani air mata.”

“Don, simpanlah semua cerita kita. Jadikan ia larik-larik puisi dan janganlah kau mati di dalamnya. Tetaplah jiwamu bergelora segelora puisi yang kau tulis tentang kita. Juga di laut, tempat kita berkirim doa dan harap pada Tuhan. Jangan kau lupakan itu. Tuhan telah memberikan kita kata, kata itu yang telah melahirkan huruf-huruf cinta, di dalamnya telah berhikayat perjalanan kembara kita yang berhasil merangkum rintang, luka, kecewa, air mata dan sengsara jadi kehidupan, jadi sejarah, jadi kita.”

“Tapi Ela, aku ingin menjalaninya bersamamu.” Suaraku makin sayu. Mungkin akibat minuman alkohol tadi. Lalu antara sadar dan tidak, kulihat Ela mendekat. Ingin kugapai, tak sampai. Aku kewalahan.

“Don, percayalah. Aku selalu di sampingmu. Aku tak akan menikam kepiluan, keperihan, juga menusuk jantungmu dengan kelu hingga biru. Aku tak mau kegetiran menyuling cinta kita jadi riwayat kesedihan diceruk impianmu yang berdarah. “

Dengan lamat-lamat, suara Ela menjauh. Semakin hilang. Meninggalkanku dalam sunyi. Sendiri.**

Susi
Siswa kelas XII IPA I SMAN 3 Bengkalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar