Selasa, 21 Juli 2009

cerpen cinta, yang kita tahu

Hari ini hari yang baik untuk berpikir. Wira duduk di bangku taman, menelungkupkan kedua telapak tangannya yang saling menindih. Ia sedang menunggu seseorang. Masih banyak waktu untuk berpikir. Ia menunggu dengan tenang, tidak cemas atau bosan seperti kebanyakan orang. Ia menikmati waktu yang dimilikinya.

Yang ditungguinya adalah orang yang istimewa, tetapi bukan “istimewa” yang dimaksud remaja jaman sekarang, tapi istimewa apa adanya. Ingatkah kamu tentang teman masa kecilmu, yang selalu menungguimu jika kamu terlambat, memberikanmu sepotong kuenya walaupun ia sendiri lapar, ataupun membantumu bangkit ketika terjatuh dari sepeda, semua ia lakukan dengan tulus, polos, atas nama persahabatan.
Irin adalah teman yang istimewa itu.

Sudah empat tahun mereka mengenal, dan dua tahun mereka berkawan. Mereka saling mengenal dari teman Wira yang berteman dengan seeseorang yang berteman dengan seseorang yang mengenal teman Irin. Pendeknya, mereka sudah menyadari eksistensi satu sama lain sejak lama oleh jaringan pertemanan. Hanya ketika kelas 1 SMA mereka sekelas, sehingga menjadi lebih akrab, sampai sekarang.

Secara teoritis, mereka memang seharusnya cocok. Wira dan Irin sama-sama menyukai komik-komik Eropa, gemar bersepeda di sore hari, dan berminat pada pelajaran Geografi. Dan memang, kenyataannya mereka sangat nyambung jika bercakap-cakap, bisa sampai berjam-jam mengobrolkan apa saja, padahal di sekolah mereka termasuk golongan orang-orang yang irit bicara. Keakraban mereka tampak dari seringnya mereka terlihat bersama.

Irin sering tampak membawakan minuman dan handuk setiap Wira bertanding basket, dan Wira pun sesekali kelihatan mengantarkan Irin pulang jika sudah kemalaman belajar kelompok. Begitulah gambaran persahabatan mereka selama dua tahun terakhir.
Singkatnya, mereka mengalami persahabatan yang ideal, dan mereka bahagia dengan itu.
Itu yang kita tahu.

Sementara itu, kembali ke taman, orang yang ditunggu telah datang, tepat waktu seperti biasa. Irin tidak seperti kebanyakan teman-teman perempuan yang Wira kenal, yang manja, keras kepala, dan kekanak-kanakan, dan itulah yang membuat Irin istimewa di mata Wira. Wira tak pernah cemas ketika berada di dekat Irin, Ia akan menumpahkan segala keluh-kesahnya tanpa beban. Dan Irinpun mendengarkan dengan sabar, tak akan beranjak pergi sebelum Wira selesai bercerita, walaupun waktu sudah melewati batas ”wajar”.

Apakah mereka ……? Tidak! Itu belum cukup sebagai bukti.
Bukannya mereka belum pernah mengalami sesuatu yang melebihi ini. Wira pernah merasakannya pada masa lalu. Ketika itu, yang ia rasakan adalah hatinya menggelora, degup jantungnya dipercepat, dan ia begitu bertenaga, seolah-olah dapat menghancurkan dunia demi pujaannya.

Wira memandang Irin yang berada di sampingnya. Mata cokelat Irin yang mungil mengintip dibalik poni yang menutupi sebagian atas wajahnya. Ketika itu, degup jantungnya pelan, hatinya tenang dan sejuk, seperti ada lapisan es tipis yang menyelubungi kegalauan hatinya, dan ia merasa lemah dan rapuh. Dari reaksi perasaan yang berbeda, Wira kesulitan mengambil kesimpulan.
Wira dan Irin bersahabat, dan itu yang Ia ketahui.

Sambil meluruskan urusannya, Wira melihat-lihat sekitar taman. Ke arah manapun ia memandang, selalu ada pasangan remaja yang sibuk sendiri, seolah-olah sudah putus koneksi dengan realita, seolah-olah mereka berada di dunia ciptaan sendiri. Lalu pandangannya kembali ke perempuan yang berada di sampingnya. Irin, sahabatnya. Tetapi mengapa mereka ada di sana?

Wira teringat percakapannya dengan Albert, yang mempunyai banyak pasangan yang selalu berganti-ganti secara periodik.
”Albert, kapankah kita yakin bahwa diantara seseorang dan seseorang terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan?”

”Itu tergantung dari mereka sendiri, seberapa kuat mereka menginginkannya. Tapi itu sebenarnya tidak menjadi masalah.”
Iya, bagi seseorang sekaliber Albert, itu tidak masalah. Tetapi bagi seseorang yang canggung dan peka seperti Wira, itu menjadi masalah.
Wira mengambil nafas dalam. Ini kesekian kalinya ia menghadapi situasi seperti ini. Seringkali ia merusak persahabatan yang susah payah dibangun, yang seharusnya dapat bertahan hingga masa jauh ke depan, hanya karena ia menginginkan suatu yang lebih, namun pihak yang lain belum siap untuk menerimanya, dan akhirnya masing-masing kecewa. Karena itulah Wira sering kehilangan teman.

Tetapi Ia tidak ingin ini terjadi dengan Irin. Ia sadar sepenuhnya bahwa mungkin akan susah untuk menemukan seseorang seperti Irin lagi di dalam hidupnya, dan ia tidak rela melepas Irin seandainya Irin memilih orang lain, tetapi ia tidak ingin mengambil resiko, ia tidak ingin menanggung kekecewaan seperti masa lalu.

Ah, hati Wira kembali bergejolak ketika kembali melihat pasangan-pasangan di taman. Ia merasa galau. Apa salahnya jika Ia ingin yakin? Yakin dengan dirinya, yakin dengan Irin, dan segala sesuatu di antara mereka.
Tetapi bukankah Irin yang mengajaknya bertemu di sini? Bukankah Ia sadar bahwa sore hari di taman adalah waktu untuk pasangan-pasangan?

”Irin!”
”Apa?”
Nafas Wira tercekat. Keringat dingin bercucuran.
”Hmm…………………….tidak jadi.”
Mungkin, sebaiknya kali ini Wira merelakannya. Mungkin, mereka tidak sedang jatuh hati.
Tetapi itu kan yang kita tahu. ***

Sarah AFR Kusumastuti
XI.IA.2
SMAN Plus Provinsi Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar