Senin, 20 Juli 2009

cerpen, cinta puisi untuk fira

  Aku membuka mataku yang begitu enggan bersahabat dengan pagi yang sudah menjemputku sebelum aku sadar bahwa aku tertidur di kasur ini. Dengan berat aku berusaha menenangkan bisikan-bisikan tubuhku yang menginginkan kembali terlelap tanpa mengacuhkan matahari pagi. Terdengar samar alunan nada merdu dari arah meja belajarku yang seolah-olah mengucapkan selamat pagi kepada ku.
“…I kept my feelings so deep, I kept my dreams of you and me somewhere inside. Although I prayed that you would see it in my eyes, But this is my last chance to say What’s in my heart before you stay out of my life And then you’ll understand the way I feel inside…”  
  Sepenggal lirik langsung tertangkap oleh alam sadarku yang belakangan ini sering sekali aku dengarkan saat menemani dinding-dinding bisu di kamar tidurku ini. Sempurna !! bisikku dalam hati, sambutan pagi yang sangat “hangat”, hingga aku kembali teringat percakapan di dunia maya antara aku dan seseorang tadi malam yang berjalan sangat singkat, padat dan tak jelas! Untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan aku mengenalnya. 
  Aku menggosok-gosokkan mataku dengan jemari yang nampak lelah setelah semalaman memetik dawai-dawai gitarku dengan lirih sebelum tertidur. Mataku beranjak ke arah jam dinding yang sudah tak bernyawa setelah kamar ini kubiarkan kosong semenjak beberapa hari yang lalu. Dan lagu yang menyambut “hangat” pagiku itu masih dialunkan dengan merdu oleh Julie Iris Fernandez, vokalis M.Y.M.P, dari sebuah benda dengan tinggi kira-kira 40 cm yang biasa orang sebut “speaker”, tapi aku lebih nyaman menyebutnya “Roommate”. Konyol memang, tapi benda itulah yang biasa menemani ku tidur di kamar yang tak terlalu luas ini. Bola mataku langsung mencari-cari sebuah benda yang biasa menemaniku kemana saja aku berada, ya sebuah ponsel hitam mungil yang selalu hadir di dekatku. Selain untuk menelpon dan mengirim pesan singkat, ponsel itu selalu menjadi tempat curahan hatiku melalui puisi-puisi yang biasa ku ketik dan kusimpan di ponsel itu.
“Ah..ada dua pesan” bisikku parau dan sedikit serak.
“Fira...”  
Pesan pertama hanya berisi Wa’alaikumsalam, pesan kedua berisi dua kata, Pagi dan juga, dan seperti biasa Fira selalu mengakhiri kalimatnya dengan tanda seru, persis seperti seseorang yang pernah mengisi hatiku 6 tahun yang lalu.Nampak berbeda dari biasanya, fikirku penuh kecurigaan dan tiba-tiba saja pagi ini terasa sangat berbeda.
  Masih dengan sedikit ling-lung dan rasa kecewa di hati, entah kenapa, aku mulai berfikir keras kapan aku mulai tertidur. Yang aku ingat hanya berdiam di atas kasur ku sambil memandang langit-langit kamarku sepulang dari masjid subuh tadi. Mungkin aku ketiduran waktu ngelamun tadi, fikirku sambil berusaha tak terlalu mengacuhkannya. 
  Rasanya berat sekali mengangkat tubuhku, udara sangat dingin pagi ini membuatku semakin enggan menghadapi pagi yang terasa sangat kosong. Selain itu, aku tidur terlalu larut tadi malam, atau mungkin lebih pantas disebut “pagi”. Masih tergambar di otakku bagaimana mataku dengan nakal memberontak keinginanku untuk tetap terjaga menanti subuh yang kurang 2 jam lagi hadir. Dan akhirnya aku terlelap pada pukul 02.30 pagi tadi setelah lebih dari 2 jam berbicara dengan sahabat yang sudah ku kenal semenjak tingkat 1 di kampus. dan sekarang kami sudah tingkat 4. Tapi, tadi malam adalah kali pertamanya aku curhat serius ke dia setelah 3 tahun mengenalnya. Karena sebelumnya aku pernah menyimpan rasa padanya, tapi akhirnya aku sadar kalau orang seperti dia lebih nyaman jika dijadikan sahabat.
  Semua ucapan dia tiba-tiba terlintas kembali di daun telingaku dan bagaikan lorong waktu di film Back To The Future, fikiranku melayang jauh menuju kejadian tadi malam.
***
“Sekarang kamu gak bisa ngelakuin apa-apa, To. Kamu cuma bisa sabar trus nunggu biar waktu yang menjawab semuanya. Lagian kan emang kamu udah bilang kalo kamu gak mau pacaran.” Suara nyaring wanita itu masih menemaniku setia lewat nasihat-nasihatnya, dialah Dini, sahabat yang sudah ku kenal semenjak tingkat 1.
“Aku setuju dengan kamu, Din. Tapi ga tau kenapa perasaan itu selalu muncul di hati aku. Dan kalo udah gitu, aku langsung cepat-cepat mengikisnya. Aku gak mau terlalu berharap ke sesuatu yang masih samar. Tapi, terkadang ucapan-ucapan dia seakan-akan memberi peluang itu, tapi terkadang seakan menutup rapat pintu itu buat aku.” Ucapku lirih.
“Itu manusiawi banget kali, To. Wajar kalau kita punya keinginan untuk memiliki seseorang yang kita sayangi. Begitu juga dengan perasaan ingin melindungi.”
“Tapi perasaan itu yang paling aku benci, Din!” nada suaraku sedikit menaik dari sebelumnya. Dadaku terasa sangat sesak seolah-olah terhimpit lemari kayu seberat 2 ton. Aku mencoba menenangkan diri sambil menghirup nafas dalam-dalam dan menghelanya diiringi lantunan merdu yang tertangkap jelas oleh telingaku.
“..Tiada yang tersembunyi, tak perlu mengingkari rasa sakitmu, rasa sakitku. Tiada lagi alasan, inilah kejujuran…”
  Suara merdu Dewi Lestari dan Aqi Alexa memancing hatiku untuk berteriak lebih keras, hingga semakin dalam dapat kurasakan nama wanita yang mencuri hatiku itu mengalir di darahku berbalut rindu yang tak mungkin terbalaskan.
“…Sadari diriku pun kan sendiri, di dini hari yang sepi. Tetapi apalah arti bersama, berdua namun semu semata…”,
“Aku terlalu mendramatisir! Aku terlalu terbawa suasana! Lemah!”, teriakku dalam hati. Dan masih berusaha mengacuhkan gejolak-gejolak yang berhembus nakal di dadaku, aku berusaha melanjutkan ucapanku tadi kepada Dini.
“Aku belum siap untuk yang terburuk, Din. Belum lagi si Andri juga suka ke dia. Dan dia udah cerita ke aku kalau dia suka Fira sebelum rasa ini ada, Din!” Aku sedikit gemetar saat mengucapkan ini, dadaku sesak sesaat. Sepertinya tak tega, Andri sahabat yang sudah lama sekali aku kenal, bahkan sebelum aku mengenal Dini.
“Ia, aku tau. Entah mindset darimana, dari dulu selalu ada anggapan kalau yang duluan cerita dan ngasih tau ke temen, berarti yang memiliki. Aku ga setuju dengan cara berfikir seperti itu.” Dini berusaha mempertegas opininya. 
“Andri hanya suka sesaat mungkin, Cuma bcanda-bcandaan aja. Kamu tau lah dia gimana orangnya.” Dini seperti berusaha menghiburku.
“Justru itu, Din! Aku tau banged dia seperti apa, Din. Aku lebih tau tentang Andri daripada kamu. Kalau dia udah suka sama orang, dia bakal bener-bener suka, gak main-main.”
“Dan aku tau dia orang yang sangat membenci penghianatan.” Entah darimana kata itu muncul tiba-tiba saja terlintas di benakku. Dan sekarang aku mulai berfikir aku lebih hina dari Wormtail yang menghianati orang tua Harry Potter hingga mereka mati di tangan Voldemort.
“Itu bukan penghianatan, To! Itu hal yang sangat wajar. Allah yang menghembuskan suara hati itu. Semua sudah di atur oleh Allah.”
“Kamu tau kan kalau Abu Bakar, Umar dan Ali r.a. sama-sama melamar Fattimah Az-Zahrah, putrid Rasulullah Muhammad S.A.W? tapi saat Ali yang ternyata menikah dengan Fatimah, hubungan Abu Bakar, Umar dan Ali tetap baik-baik saja. Semuanya itu hanya perlu kedewasaan kalian dalam berfikir.”
  Aku hening sejenak tak dapat berkata apa-apa, sebagian jiwaku sedikit tersemangati oleh ucapan Dini. Tapi sebagian jiwaku yang lain masih tak dapat menerimanya. Terlintas di benakku seandainya saja aku tak mengenal Andri. Rasa ini terlalu besar untukku mengalah dan membunuh perasaan ini, aku sudah benar-benar hanyut dalam perasaan cinta ini, bermula dari kekaguman ku padanya. Kedewasaan cara berfikirnya, sikap kepedulian sosialnya yang tak pandang bulu, cita-cita mulianya dan kecintaannya pada Sang Khalik. Hal terakhir ini yang membuatku benar-benar jatuh hati padanya.
” Dia benar-benar tipe isteri idamanku.”, ucapku dalam hati.
“ANTO!!”suara Dini memecah lamunanku.
“Eh..maaf Din, aku ngelamun tadi.”
“Dia tau isi hati aku, Din. Aku cerita semuanya hari itu, tapi sama sekali gak ada kata aku sayang kamu, aku cinta kamu atau aku suka kamu. Aku cuma bilang aku kagum sama dia dan ingin mengenal dia lebih dalam lagi, tapi bukan pacaran. Udah bukan saatnya lagi main-main seperti itu, Din.”
“Ia, aku juga sependapat sama kamu mengenai pacaran, To. Tapi kalo boleh nanya, memangnya awal mulanya gimana sih kamu bisa ngungkapin kekaguman kamu itu? Kapan kejadiannya? Kok aku ga tau sih?” Ucap Dini yang tak kalah tegasnya dengan polisi yang sedang menginterogasi pembunuh berdarah dingin yang sudah membunuh satu desa!! Ah!! Pemikiranku semakin tak menentu.
“Panjang, Din. Dan rumit...”, aku mulai mengingat-ingat awal dari semua cerita itu. Awal mula dari rasa cinta ini, awal mula dari rasa kagum ini, awal mula dari seorang gadis manis berjilbab bernama Fira.
  Dan aku menemukan satu titik. Satu titik yang aku anggap sebagai awal mula Fira mengetahui perasaan ini. Walaupun sebenarnya semuanya sudah dimulai jauh sebelum malam itu. Sebuah malam yang penuh dengan detak jantung yang bedegup kencang, sebuah malam yang penuh dengan pusaran otak, sebuah malam yang penuh dengan kejadian-kejadian tak terduga, sebuah malam yang membebaskan belenggu di hatiku!

Berawal dari bulan purnama, suara ombak disertai angin laut, dan sebuah cerita,

sebuah puisi rindu,
  untuk Fira...  
 
***
Dan jingga berpadu biru,
Saat kelabu membayang semu,
Bisikan langit membiusku,
Lelapkanku dalam bayanganmu,
Seakan beralih langit melawanku,
Mencabik kalbu dalam belenggu,
Aku berlalu perlahan menunggu,
Ketika kalbu berucap namamu, 
 
Dan diantara nyata dan maya yang bergemuruh,
Hatiku memandangmu...

karya vant 0810

Tidak ada komentar:

Posting Komentar