Minggu, 26 Juli 2009

cerpen cinta yang aneh

<>Oleh Fahrur Rozy
<> Aku melihat sesuatu yang berbeda dalam keheningan dan kedamaian matanya. Terlalu cantik, ah mungkin sangat anggun ah... tidak pantas dia bagiku karena sangat terlalu. Kokok ayam jantan menghentikan putaran tasbih cintaku.

”Suwarno, aku melihatmu tadi malam. Engkau tampak gelisah tak bisa tidur, adakah yang engkau sembunyikan dari Bundamu.”

”Entahlah Bunda, ada sesuatu yang membuat aku tersenyum sendiri. Tapi sesuatu itu... aku tidak bisa menamakannya. Jika namanya jauh aku merasa kesepian dan aku merasa tidak dikehendaki.”

”Tenanglah. Aku tahu apa yang membuat pemuda seusiamu menjadi gelisah. Bundapun pernah merasakan waktu dengan Ayahmu. Itu adalah cinta Nak. Hmm.. tampaknya putraku bertambah besar. Eh kalau Bunda boleh tahu siapa gerangan gadis yang telah membuat putraku ini sekarat dalam cintanya.”

Aku tak menjawab, aku takut Bunda akan menertawakanku.

”Tidak mau cerita pada Bunda ya. Tapi Bunda sudah tahu nona mana yang engkau sembunyikan itu?”

”Siapa Bunda?”

Nih undangan ulang tahun dengan aroma melati yang memikat dari Eliah, putri Pak Lurah temanmu sewaktu SD. Waktu SMP dia dapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya sampai kuliah di Amerika karena memenangkan olimpiade Fisika. Kini Eliah pulang, dia ingin merayakan ulang tahun di desanya daripada di Amerika. Bagaimana wajahnya sekarang ya calon menantuku tersebut. Eh apakah kamu masih menyimpan surat cinta pertamanya sewaktu SD dan kamu minta ibu pakai lipstik untuk dikecupkan pada surat balasanmu. Ha... ha...”

Aku tersipu malu. Bunda terus menggoda yah hanya bunda dan bapakku yang aku cintai dan kekasihku yang tiap malam mendatangiku hingga kuberpaling dengan cinta yang lain. Aku ingin sekali bertemu dengannya, telah ribuan kali aku berkirim surat cinta padanya dan merayunya. Tapi entah kenapa dia masih menggodaku dan membuatku penasaran. Sudahkah cintaku diterima? Hanya kalimat itu yang terus terngiang dalam rindu tak tertahankan.

”Betulkan tebakan Bunda?”

Aku mengangguk-angguk serta tersenyum dalam lamunannku yang penuh kedamaian, aku merasa dalam taman surga.

”Ha ha akhirnya rahasiamu terbongkar. Kamu pasti memikirkan kenangan-kenangan indah dengannya,” teriak Bunda yang melihat anggukan kepala dan senyumanku. Bunda mendekapku, yang kutahu dekapan itu adalah dekapan yang tidak ingin berpisah denganku bukan karena tebakannya. Aku merasakan irama jantungnya berdetak tenang, tenang dan tenang walaupun jantungnya terserang kanker ganas.

”Ingat nanti malam kamu jangan pernah berpikir apapun karena yang didamba telah mendatangimu. Inilah yang namanya jodoh.”

”Baik Bunda, aku harus ke sawah. Bapak telah menungguku.”

########################

<> Malam itu aku pergi ke tempat yang paling kusukai, gubug di tepi air terjun dengan pemandangan angkasa yang indah dan hamparan sawah menguning yang makin ber-emas dengan sinar purnama. Di sinilah aku menemukan kekasihku, diantara pohon-pohon, gemercik air, bintang, hingga di jasadku. Aku mulai memikirkan kekasihku....lagi

”Jika hanya nyawa ini yang engkau inginkan untuk mendapatkan cintamu, ambillah. Jika tersiksanya badan ini agar engkau menjadikanku sebagai kekasih, siksalah badan ini. Kirimkanlah surat cintamu, wahai pesona.”

”Mas, ada apa. Merindukanku?”

Aku tersadar ada yang mengutitku dan mendengarkan keluhanku sejak tadi. Logatnya kebarat-baratan.

”Ternyata you masih menepati janji waktu kita kanak-kanak”

”Siapa kamu?” Aku bertanya pada sosok gadis elok di depanku berambut pirang terurai dengan asesoris gaya kawula muda barat tapi masih sopan untuk ukuran kesusilaan desaku. Senyumnya yang menawan dari bibir tipis membuat aku sedikit mengenalnya.

”Waktu selalu berubah. You boleh melupakanku tapi gubug ini adalah aku. Yah gubuk ini you buat untuk menunjukkan cintamu padaku dan you berjanji akan menjaganya sampai aku pulang. Ha ha tapi itu dulu ya mas?!”

”Bunga Bangkai! Kapan datang dari Amerika,” sontakku kaget.

”Ha ha, baru saja aku datang dan langsung ke sini. Bunga Bangkai! You masih ingat nama panggilan sayangmu kepadaku yang kita rahasiakan. Ah panggilan itu kan muncul waktu si Kalim memberikan bunga mawar untukku. Dan si Wirai memberikan untaian tunas pakis. You cemburu dan mengajakku masuk ke dalam hutan. You menunjukkan bunga Bangkai. Dan you berkata bahwa bunga mawar dan tunas pakis tak akan mampu mengalahkan bunga Raflies karena kekokohannya. Katamu cinta adalah kekokohan bukan dari aromanya dan semainya.”

”Ha.. ha...,” kami berdua tertawa. Dan kami bercerita sampai ayam berkokok memberikan titik akhir cerita. Tapi entah kenapa aku merasakan cinta masa kecilku itu tak membuat aku tentram.

”Hai you sudah punya pacar?”

Aku terdiam. Eliah sangat cepat perubahannya, dia kini lebih agresif. Aku merasa dia bukan Eliah kecilku lagi.

”I’m sorry. Nanti you harus datang ya. Ini juga reuni SD kita. Mas Kalim dan mas Wirai juga diundang. Pasti seru ya ada cemburu-cemburuan kayak masa kecil dulu. Aku juga membawa teman dari Amrik nanti aku kenalkan. Mereka anggota band terkenal lho dikampusku. Dah...”

Kami berpisah, kumemandangnya dengan terpaksa. Belum beberapa meter melewati pematang sawah, Eliah berbalik arah menujuku yang masih terpaku di dalam gubug.

”Perdengarkanlah suara serulingmu karena itulah yang sangat aku rindukan darimu.”

Aku mengeluarkan seruling dari balik baju dan kuperdendangkan lagu kebangsaan cinta kita. Eliah meneteskan air mata, tubuhnya mulai merapat pada tubuhku. Kepalanya bersandar pada bahuku. Hingga secercah sinar fajar terpaksa muncul sebelum waktunya hanya untuk menyaksikan cinta yang lama bersatu kembali. Lagi-lagi aku merasa dia bukanlah yang aku rindukan selama ini. Tak tentram hatiku. Siapakah gerangan engkau wahai penyiksa hatiku...Aku yakin bukan yang di sampingku.

##################

Pesta yang sangat meriah. Musik khas kawula muda Amrik menghentak diiringi tepuk tangan undangan. Aku datang terlambat melaui pintu dapur, ada sesuatu yang menyiksa dan memaksaku untuk menyebut namanya beribu-ribu kali pagi itu. Kedua orang tuaku membantu pesta Ultah Eliah sudah menungguku. Wajahnya tampak kelelahan menyambutku di dapur.

”Anakku kenapa engkau tampak lesu. Bukankah engkau sudah mendapatkan cintamu kembali?”

”Dia memang cintaku Bunda, tapi semenjak kepergiannya aku merasakan ada cinta yang lebih hebat dari cintanya. Entahlah, cintanya membuat aku tidak mau berpaling darinya”

”Cintanya gadis mana yang membuat engkau tersiksa. Adakah yang lebih indah di desa ini dari Eliah?”

”Dia lain dari yang lain Bunda. Jika dia menjadi kekasihku aku yakin aku adalah orang yang paling beruntung.”

Ugh. Itulah kenapa cinta sulit dinalar. Tapi ingat jangan paksakan cinta, sebab cinta adalah keliaran. Pergilah ke ruang pesta mungkin kekasih tak sejatimu sedang menunggu”

Aku mencoba menenangkan diri, merapikan setelan jasku yang pernah dipakai Bapak waktu menikah dengan Bunda.

”Oh yang kutunggu dari tadi,” sambut Eliah.

Mataku menatap parasnya, sangat luar biasa cantiknya. Tubuhnya dibalut gaun rancangan desainer muda temannya yang bisa menghabiskan tanah di desa ini untuk desainnya saja.

”Maaf ya terlambat. Aku ucapkan selamat ulang tahun yang ke 25. Semoga Allah menjagamu”

Tank you. Mau berdansa denganku?”

”Aku tidak bisa berdansa”

Eliah menyambar tanganku. Dengan lagu yang romantis dia memelukku dan mulai berdansa. Bunda dengan mata sayunya mengintip dari nako ruang tamu. Bunda mengerti apa yang sedang terjadi padaku. Aku berharap Eliah tidak mencintaiku walaupun aku masih menyimpan benih cintanya karena aku telah menduakanmu. Maaf...

Lagu berhenti seluruh yang hadir bergerombol di depan panggung. Di sana telah berdiri Pak Lurah Matgiso seorang paripurna Jenderal TNI dan istrinya, Bu Dar. Tak lama kemudian Eliah melepaskan genggaman tanganku. Lilin ditiup dan muncullah pemuda Jepang memberikan ciuman hangat di keningnya. Aku terperanjat, ada sedikit rasa cemburu tapi kembali redup saat aku yakin itu adalah budaya Barat. Pak Lurah memegang mikrofon memberikan sambutan. Awalnya datar tapi pada saat kalimat ini....

”...Pemuda ini adalah salah seorang profesor muda bidang Fisika dan Biologi terkemuka di Amrik. Einstien Asia julukannya. Dia yang selalu membimbing Eliah dan mengajarinya banyak hal. Pemuda bernama Fain Caing Bo Gail ini telah masuk Islam dan berganti nama menjadi M. Sudin Sukardi. Dia akan.... menikahi putriku, Eliah”

Kenangan indahku masa kanak-kanak bersama Eliah berhamburan keluar dari ingatanku. Bundaku tersenyum terpaksa, dia menghampiriku dan mendekapku. Jantungnya menenangkanku dan seolah berkata; kini engkau putraku terbanglah bersama kekasih yang engkau puja setiap malam itu bukankah itu yang engkau harapkan. Eliah tersenyum kepada seluruh undangan tapi dia melewatkanku dalam pandangannya. Aku berpamitan pada Bunda tak tahan juga melihatnya berdua bermesraan di atas panggung.

”Bunda tolong kasihkan bunga di belakang rumah padanya. Aku tidak berani membawanya ke sini, baunya akan merusak pestanya.”

#######################################

Aku berlalu menuju gubug. Kumainkan suling pada alam, kuberitahu pada mereka bahwa aku tidak patah hati karena Eliah. Tapi kerinduan pada cinta kekasihku yang lain. Malam itu kerinduanku memuncak dan cinta sudah pada titik nadzir. Aku mulai berjalan menjauh dari gubuk. Namanya telah menghilangkan kesadaranku, semakin jauh sudah aku berjalan meninggalkan desaku. Entah berapa jauh aku berjalan hingga kakiku bengkak dan pakaianku kumal. Namanya dalam hati terus ku sebut tak sekedip matapun hatiku melupakannya. Sekelilingku seakan semua semu, hampa, tak ada kesejatian. Dari lemparan buah busuk warga yang kulalui sampai teriakan bahwa aku aku ini gila tak membuat hati ini goyah dalam dekapan cintanya. Rindu tak tertahankan akhirnya terobati, surat cintaku terbalas. Tubuhku kini adalah tubuhnya, kakiku adalah kakinya dan setiap inci dari tubuh ini adalah dia. Aku telah bertemu sedikit aromanya, aku tersenyum dan dunia semakin jauh meninggalkanku.

Sepuluh tahun sudah aku mencium aroma kekasihku, kurengkuh kenikmatan cintanya yang luar biasa. Kekasihku telah membuka cadar rahasianya yang membuat aku semakin tergila dibuatnya. Sangat indah...andai engkau merasakannya. Saat masa-masa indah bersama aroma kekasihku itu aku memutuskan pulang, kurasakan detak jantung bundaku dari ribuan kilo ini mulai melemah...

<>#######################
Tibalah aku di desaku, semuanya berubah. Penduduk menyaksikanku tampak aneh, dengan rambut panjang yang gimbal, kumis dan jenggot tumbuh tidak terawat. Di sana telah berdiri Universitas Fisika yang megah. Aku tidak berani memasuki desa lebih jauh, takut menakuti anak-anak desa. Kuputar haluan menuju gubug, kuharap tak berubah. Ternyata gubugku terawat dengan puluhan bunga raflies. Aku mengeluarkan seruling, kuharap alam desaku masih bisa mengenalku. Malam telah tiba, aku membersihkan diri di air terjun. Dengan mengedap-endap aku menuju rumah, bersama kekasihku untuk aku kenalkan pada Bunda.

”Assalamualaikum, Bunda, Bapak”

”Waalaikum salam. Siapa gerangan itu?”

”Aku dan kekasihku”

”Suwarno. Kaukah itu putraku. Sudahkah engkau mendapatkan cinta kekasihmu”

<>”Benar Bunda, dia mengajakku untuk bertemu Bunda dan Bapak”
”Kemarilah Nak”
Bunda dan Bapak menyongsong dan mendekapku sangat erat, aku rasakan jantungnya berdetak kembali. Kami bercakap-cakap menanyakan keadaan masing-masing. Bunda terbebas dari kankernya, Eliah membawanya berobat ke Amerika.
”Eliah bagaimana keadaannya?”
”Dia kini menduda, Sudin Sukardi terbakar di labnya saat melakukan riset untuk mendapatkan hadiah Nobel. Dua bulan kemudian kandungan Eliah keguguran. Dia sempat frustasi dan sering menyendiri di gubug. Dia bercerita padaku bahwa dia terbebas dari keputusasaannya saat meneliti alam disekeliling gubug, ternyata ada yang kuasa menentukan nasib. Engkau menghilang karena mendengarkan alam disekitar gubug. Begitu simpulnya,” kata Bunda.
”Dia kini menjadi rektor. Tahukah kamu, sebenarnya dia sangat mencintaimu, cintanya tidak pernah padam sejak kanak-kanak. Dia menikah karena Sudin Sukardi berjanji akan menemukan formula untuk menjaga kualitas hidup Bunga Raflies. Sudin Sukardi berhasil, bunga Raflies hidup sampai dua tahun. Mungkin dia ingin cintanya padamu selain kokoh juga tahan lama. Eh kamu masih ingat hadiah ulang tahunnya, Bunga Raflies itu. Dia sendiri yang menanamnya di gubug dan mencoba formula Sudin Sukardi. Eliah dan Sudin Sukardi telah mencarimu kemana-mana,” lanjutnya.

”Dan apakah kamu telah menemui kekasihmu. Ke mana dia, kenapa tidak diajak masuk?”tanya Bapak.

”Dia hanya mendekat saat kita dekat dan dia akan jauh saat kita jauh”

”Apakah yang kau maksud kekasih sejatimu itu...”

”Allah. Benar Bunda, aku sangat mencintaianya. Dan Dialah yang menuntunku pulang. Aku sangat mencintaiNya Bu”

Aku menerawang jauh mata Bunda. Dan kembali Bunda memelukku. Orang tuaku menangis...

”Besok Eliah ulang tahun. Engkau bisa datang”
##################
Acara mewah di audotorium kampus di kemas dalam konsep pribumi. Puluhan Limosin berdatangan, para tamu negara juga banyak yang datang. Penjagaan amat ketat hanya yang membawa undangan yang boleh masuk. Aku lihat teman-teman SD ku banyak yang datang. Acaranya sangat Islami. Ada Rebana dan gambus. Dari balik panggung aku lihat Eliah melakukan sambutan, matanya tampak lebam dan berkaca-kaca.

<> <>”Terima kasih Anda telah datang. Terima kasih juga kepada kedua kekasihku, andai engkau datang kali ini...” Eliah tak kuasa menahan tangis, dia pingsan. Dengan cepat tim medis membopongnya seolah sudah terbiasa Eliah mengalami itu. Sebegitu rindukah engkau padaku Bunga Bangkai... Aku menyelinap menuju podium seluruh mata memandangku mungkin karena penampilanku yang berbeda. Alunan musik gambus berhenti untuk menghormati suasananya. Aku memulai memainkan seruling dengan alunan lagu kebangsaan cintaku pada Eliah. Alunannya melengking, yang hadir diam seribu bahasa, berlahan meneteskan air mata. Eliah siuman, Bunda dan Bapak serta orang tua Eliah membopongnya menuju panggung. Aku berhenti. Kudekatkan mulutku pada mikrofon.
<>”Para hadirin. Dialah calon istriku. Kekasihku yang menghendaki dia jadi istriku
<>Eliah tersenyum padaku. Aku menyebut kembali kekasihku dalam hati, ”Ihdina sirathal mustaqim. Allah, Allah, Allah...!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar